Cerpen bertemakan Kebangsaan. Kakekku Sang Veteran


KAKEKKU SANG VETERAN


Sang surya sudah hampir terbenam di ufuk barat, menandakan waktu malam telah tiba. Berbagai aktivitas di desaku dihentikan menjelang melaksanakan kewajiban beragama, melepas dahaga, dan memulihkan tenaga yang lelah seharian bekerja.
Dari kejauhan, tampak seorang kakek berjalan dengan langkah kecil menuju surau depan rumahku. Beliau adalah kakek yang penuh dengan cerita perjuangan, aneka permainan, dan syair lagu kebangsaan.
Image result for veteranKakek Soni, begitulah orang memanggilnya. Walaupun beliau berusia lanjut, namun semangat juang untuk pribadi dan orang sekitarnya tidak pernah memudar. Disaat waktu senggangnya, beliau selalu menyempatkan diri untuk berkumpul bersama warga sekitar.
Tepat pada tanggal 17 Agustus, kita sebagai bangsa Indonesia yang cinta tanah air akan merayakan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia. Semarak perayaan Hari Kemerdekaan itupun diadakan pula di desaku, Desa Wijaya. Saat hari kemerdekaan tiba, beliau selalu meneteskan air mata. Apalagi ketika beliau melihat anak-anak kecil datang memberikan berbagai atribut merah putih kepadanya. Ada yang membawakan bendera kecil, puding merdeka, bubur merdeka, dan sebagainya.
Selama ini, beliau tidak pernah ku dengar mengeluh. Walaupun tanpa kehadiran istri tercinta disisinya, ditambah pula penyakit prostat yang belum lama dideritanya. Beliau tetap tersenyum manis dan selalu menghadirkan cerita untuk anak cucunya.
“ Besok kita akan merayakan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia. Engkau pasanglah tiang agar bendera kebangsaan kita dapat berkibar dengan gagah di halaman”, pesan kakek kepadaku.
Aku hanya tersenyum mendengarnya. Kakek tidak tahu jika halaman rumahnya pun sudah ku kibarkan bendera merah putih sebelum beliau bicara. Aku senang memberikan kejutan pada kakek, karena beliau pun juga senang melakukan hal itu kepadaku.
“ Kakek, tiang ini untuk apa? Dan bendera ini juga masih baru sekali, apa kakek membelinya lagi?” tanyaku, seolah tidak mengerti.
Kakek tidak menjawab, beliau tahu sifatku begitu. Selalu bertanya pada hal  yang dianggap tidak penting. Beliau kemudian mengajakku meletakkan tiang itu di halaman rumah. Aku hanya diam tidak menjawab ajakannya namun ku ikuti beliau dari belakang. Dalam hatiku, aku yakin kakek akan terkejut dengan suasana di halaman depannya nanti.
Ternyata pekerjaanku tidak sia-sia, dan berhasil dengan sukses. Kakek terkejut, beliau takjub dengan hasil kerja kerasku. Di pintu masuk halamannya, ku letakkan dua buah tiang dengan bendera merah putih berukuran sedang. Sementara keliling pagar rumahnya, pernak-pernik atribut bendera merah putih berukuran kecil menghiasinya.
“ Wow...Indah sekali halamanku !” seru kakek.
Kemudian beliau melirik kearahku, aku sudah tahu pasti kakek akan bertanya kepadaku atau bahkan beliau curiga kepadaku. “ Ros, apa engkau yang melakukannya ? Mengapa kakek tidak mengetahuinya ? Kapan engkau mengerjakannya ? Dan siapa yang membantumu ? ” tanya kakek dengan berbagai pertanyaan kepadaku.
Hatiku senang dapat mempersembahkannya di saat yang tepat. Semua ini aku lakukan sebagai rasa banggaku pada pahlawan tanah airku, Indonesia. Beliau adalah seorang pensiunan  prajurit Tentara Negara Indonesia Angkatan Darat ( TNI-AD) pada tahun 1945 silam. Aku bangga memiliki kakek Soni, karena beliau  mengabdikan diri untuk Negeri kita tercinta. Hingga jiwa dan raga rela menjadi taruhannya, namun beliau tak pernah gentar ataupun takut di medan perang.
“ Ros, mengapa engkau diam ?  Mengapa pertanyaan kakek tidak lekas dijawab ?” desaknya.
“ Ya, kek ! Ros yang telah melakukannya. Tentu saja kakek tidak tahu karena Ros mengerjakannya ketika kakek tertidur pulas semalam. Ros melakukannya bersama teman-teman, karena mereka juga ingin membuat kakek bahagia di Hari Kemerdekaan ini ” , jawabku, pelan.
Mendengar perkataanku itu, tampak dari lubuk matanya bening air berkilau dengan jernih turun perlahan membasahi pipinya yang berkerut. Rasa bangga dan haru menyelimuti hatinya. Beliau teringat pada masa lalunya yang penuh dengan suara deru meriam, hiruk pikuk pertempuran, dan tetesan darah perjuangan.
“ Kau patut bersyukur pada Tuhan Yang Maha Esa karena hidupmu tidak sesulit zaman kakek dahulu. Di zaman penjajahan, mengibarkan bendera merah putih saja nyawa menjadi taruhannya, dan kini engkau bisa megibarkan bendera kebangsaan itu dengan penuh kebebasan tanpa rasa takut sedikitpun !” ujar kakek.
Mentari telah menampakkan diri di ufuk timur, sebelum cahayanya memijar semua warga telah dahulu melaksanakan aktivitasnya di kebun pertanian. Begitupun sebaliknya dengan kakek Soni. Beliau selalu memeriksa kebun singkongnya untuk memastikan tidak ada gangguan hewan liar disana seperti monyet dan babi hutan. Dengan topi tentaranya, beliau dan aku berjalan menuju kebun.
Sesampai di kebun, tampak seorang lelaki sedang menyiangi rerumputan liar. Lelaki itu bernama Tono, dan dia adalah buruh upah di kebun kakek yang telah bekerja setelah kakek mengalami penyakit prostat. Tiba-tiba kakek dengan suara tingginya berseru, “ Tono, bagaimana keadaan kebun hari ini ? Apa ada tanaman singkong yang dihancurkan lagi ?”.
Lelaki itu memandang kearah datangnya suara. Dia melihat kedatangan kami, dan pekerjaannya pun dihentikan. Kemudian dia datang menghampiri dan menjawab pertanyaan kakek dengan leluconnya, “ Tenang saja, kek! Hari ini kebun singkong terhindar dari serangan monyet dan babi hutan itu. Menurut daya ramal saya, sepertinya hewan liar itu sedang merayakan Hari Kemerdekaan Indonesia di hutan rimba”.
“ Kamu ini ada-ada saja Tono, seperti pengalaman tinggal di hutan rimba. Saya saja yang bertahun-tahun hidup didalamnya tidak pernah menghadiri acara kemerdekaan mereka”, jawab kakek dengan humoris.
“ Ha.....ha.....ha.....!” Kami bertiga pun tertawa terbahak-bahak. Memang seperti itu jika kakek dan Tono bertemu, ada saja kata-kata untuk membuat tertawa.
Tono selalu pengertian pada kakek, apalagi jika masih dalam suasana pagi. Ia mengerti sarapan kesukaan kakek. “ Kek, saya hendak membuat api unggun di dekat gubuk. Tadi saya telah mencabut dua batang singkong untuk sarapan kita bersama disini. Kakek dan Rosa lebih baik duduk-duduk di gubuk dulu menjelang ubi bakarnya masak”.
“Terima kasih, Tono. Kau selalu mengerti kesukaanku!” puji kakek, senang.
Setelah menunggu lima belas menit kemudian, akhirnya menu sarapan istimewa ala Tono siap dihidangkan. Aku tidak sabar ingin lekas pula menyantap ubi bakar panas itu, “ Pasti nikmat rasanya!” gumanku.
“ Ini sarapan pagi kita, menu istimewa ala Tono... “ Ubi Bakar Merdeka ”... dan selamat menikmati ”, serunya.
“Apa aku boleh makan ubi bakar ini juga, paman?” tanyaku.
Aku berharap ada bagian untukku juga agar perutku yang keroncongan ini terobati dari rasa lapar. Maklum, sebelum ke rumah kakek tadi, ibuku belum pulang dari pasar subuh. Dan di meja makan pun tidak ada makanan yang tersisa untuk ku makan.
“Boleh, silahkan Ros! Paman senang jika kamu ikut menikmati ubi bakar ini bersama kami. Kamu juga setiap pagi sekolah jadi tidak pernah menikmati makanan kebun, kan?” ujarnya, seraya tersenyum padaku.
Tanpa ada rasa ragu ataupun malu, kami bertiga segera menikmati ubi bakar tersebut dengan lahap. Hasil dari tanaman singkong inilah yang membuat perekonomian warga sekitar membaik. Di lengkapi pula dengan perawatan dan pengolahan yang menggunakan teknologi canggih, sehingga menjadikan produk pangan bermutu dan berkualitas.
Setelah santapan ubi bakar habis dilahap dan perut kami terasa kenyang, aku dan kakek pamit pulang. Sementara paman Tono melanjutkan kembali pekerjaannya. Di tengah perjalanan, kakek mengambil dua buah pelepah daun pisang. Beliau ingin mengajakku bermain perang gerilya setiba di rumah nanti.
Sesampainya di rumah, pelepah daun pisang itu diubahnya menjadi bentuk senapan laras panjang. Walaupun hanya mainan murahan, tapi aku senang memainkannya bersama kakek. Setelah dibuatkan dua buah senapan mainan, kakek mengarahkannya tepat dihadapanku. “ Dor...Dor...Dor...”, teriaknya. “ Sekarang saatnya kita bermain perang gerilya. Engkau menjadi penjajahnya, sementara kakek menjaga benteng pertahanan”.
“ Baiklah, kek. Ros setuju !” jawabku.
Sebelum permainan dimulai, kakek terlebih dahulu menghiasi wajahku dengan arang kayu agar kelihatan lebih cantik katanya. “ Inilah prajurit kakek masa depan, bukan prajurit di depan massa ”, tuturnya seraya tersenyum manis kepadaku.
Selain itu pula seluruh tubuhku dari kepala hingga kaki pun diberi asesoris serba rerumputan hijau. Sehingga jika dipandang dari kejauhan tidak ada bedanya dengan tanaman hias bonsai. Walaupun di hiasi kakek serupa itu, hatiku merasa gembira. Yang ku inginkan hanya satu, aku ingin membahagiakan kakekku. Aku ingin beliau tertawa, tersenyum, dan selalu sehat.
“ Serang...pasukan  komandan maju !!! Atur barisan sebelah kanan. Awas musuh datang !” serunya seraya mengarahkan senapannya kearahku.
Karena terkejut mendengar teriakkannya, secara spontan aku pun berlari. Dan kemudian menemukan tempat persembunyian di dalam lubang kecil. Dari kejauhan ku dengar suara kakek menertawaiku. Aku tidak ingat jika sebenarnya kakek tidak dapat berlari sekencang dulu, karena dokter menyarankan agar kakek tidak terlalu banyak bergerak.
Mengingat pesan dokter itu, aku keluar dari persembunyian. “ Awas, bom granat siap diledakkan !” ... Dum...Dum...Dum...!” jeritku seraya melempari buah pinang kearah benteng pertahanan kakek.
“ Meriam diluncurkan, pasukan prajurit, serbu...serbu...serbu...!” jeritnya pula seraya membalas lemparanku dengan air kran. Aku tidak dapat menghindari serangannya, sehingga aku terpaksa harus mengakui kekalahanku.
Untuk mengakhiri permainan perang gerilya, kakek mengibarkan bendera merah putih dari kertas seraya menyanyikan lagu kebangsaan “ Indonesia Raya ”. Aku terharu, rasa cinta pada tanah air masih terbekas di wajahnya dan kisah sejarah hidupnya pun masih kuat dalam ingatannya.
“ Besok kakek ajarkan permainan baru dan seru kepadamu. Hari ini kakek hendak istirahat dulu !” ujarnya dan menutup pintu.
Namun, seiring waktu berlalu, hari terus berganti, jam terus berputar, dan mentari berganti rembulan. Semua sudah takdir Allah untuk hidup kakek. Kian hari, keadaan fisik beliau semakin melemah dan akhirnya mengalami kritis. Melihat keadaan seperti itu, akhirnya kakek dibawa ke rumahku untuk pengobatan lebih lanjut.
Semua diluar dugaan, baik dari pribadiku maupun keluarga besar kakek. Seluruh keluarga masih tidak percaya melihat kenyataan yang terjadi. Karena kemarin kakek berkumpul bersama anak cucunya dan masih bercerita dan bersenda gurau. Namun kini, kami hanya bisa memandang beliau berbaring lemah dan tidak berdaya. Sekilas teringat dalam benakku sepintas curahan hati kakek disaat beliau terbayang almarhum istrinya , “ Aku ingin hidup lebih lama lagi, agar aku bisa melihat anak cucuku menjadi orang sukses. Dan jika membayangkan kematianku, aku merasa takut. Jika malaikat maut mencabut jiwaku, pasti ragaku akan merasa sakit !”.
Tepat pukul 13.30 WIB di kediamanku, kakek Soni menghembuskan nafas terakhirnya. Di pelupuk matanya setetes air mengalir perlahan dan menutup kedua matanya. Selama hidupnya, kakek tidak pernah ku lihat bersedih. Namun, air mata itu menjadi awal dan akhir dari rasa kesedihan yang mungkin berkecamuk dalam batinnya. Melihat kenyataan itu, tidak ada yang dapat berkata, hanya air mata mengalir perlahan dari wajah-wajah anak cucu kakek dan warga sekitar. Seluruhnya berharap Allah memberikan jalan dan tempat terbaik untuknya di alam akhirat nanti. Memandang wajahnya yang pucat pasi, membuat tubuhku menjadi lemas. Ku sempatkan diri untuk mencium wajahnya, walau ciuman yang pertama dan terakhir kuberikan. Ku peluk erat tubuhnya, dan ku ucapkan... “ Kakek, maafkan aku”.
Tiba-tiba di hari duka itu, datang empat orang ke kediamanku utusan dari Komandan Militer Tentara Negara Indonesia Angkatan Darat dengan mengenakan pakaian kebesarannya. Mereka adalah prajurit yang datang dari tempat dahulu kakek bekerja. Mereka bermaksud hendak mengebumikan jenazah kakek di Taman Makam Pahlawan karena beliau adalah seorang veteran.
Akhirnya dengan persetujuan seluruh anggota keluarga, kakek Soni dikebumikan ditempat tersebut. Suara sirine dari mobil jenazah mengiringi perjalanan menuju Taman Makam Pahlawan, tempat pengistirahatan terakhir kakekku tercinta. Ketika peti jenazah hendak dimasukkan ke liang lahat, pasukan prajurit Tentara Negara Indonesia Angkatan Darat tersebut mengarahkan senapan anginnya dan menembakkan mesiu ke udara. “ Dor...Dor...Dor...” sebanyak tiga kali menderu. Menyaksikan hal itu, air mataku turun berderai memandangnya, “ Selamat jalan kakekku tercinta!” isakku.

Setelah pemakaman usai, aku bersimpuh di atas pusaranya. Rasa haru membiru menjadi satu. Kini ku hanya bisa memandang makamnya, sementara rasa duka masih terasa, “ Kakek, engkaulah pahlawan bangsa Indonesia, dan engkaulah pahlawan dalam hidupku. Banyak sejarah perjuangan yang engkau ceritakan kepadaku. Banyak permainan yang engkau buatkan untukku, dan banyak pula lagu kebangsaan yang engkau lantunkan kepadaku. Terima kasih kakek, berkat perjuangan dan kegigihanmu ini membuatku dan seluruh masyarakat Indonesia terbebas dari belenggu penjajah dan dapat hidup merdeka di tanah air Indonesia. Engkaulah pejuang bangsa dan engkaulah sang veteran Indonesia”.


               *Publish on 2015, Finalis Sayembara Penulisan Cerpen Kantor Bahasa Provinsi Jambi 

Comments

Popular posts from this blog

Cerpen bertemakan Kebangsaan. Sekuntum Melati Untuk Bangsa

Berkunjung ke Tribun Jambi