Cerpen bertemakan Kebangsaan. Sekuntum Melati Untuk Bangsa
SEKUNTUM MELATI UNTUK BANGSA
Dulu
aku benar-benar belum paham tentang hal ini. Aku membenci semua hal yang
berkaitan dengan perjuangan, pengorbanan, kemerdekaan atau omong kosong
lainnya. Merdeka?nyatanya disini aku masi terbelenggu dengan fikiranku sendiri,
berkelit dengan kenyataan yang ada dan mencoba untuk melupakan semua hal yang
amat menyesakkan bagiku. Walaupun aku tahu semua ini telah hadir dan menjadi
bagian dari hidupku.
Masih
kuingat 15 tahun silam, saat aku masih memiliki tubuh mungil, berdiri tegap
lalu berkacak pinggang di depan ayah dengan masih berpegang teguh pada egoku. Bunda
mengusap halus rambutku, membujukku dengan kata-kata halusnya, berharap kali
ini aku akan mengikhlaskan ayah untuk pergi jauh lagi, namun aku malah
membantahnya dengan celotehan yang tidak jelas kulafalkan. Jika seperti ini
bunda hanya bisa tersenyum teduh memandangi putri kecilnya yang amat keras
kepala. Ya, sama kerasnya seperti ayah.
“Rara..
besok ayah akan berangkat ke Maluku, baik-baik ya di rumah. Belajar yang rajin.
Juga jagalah bunda buat ayah, ya”kata ayah lembut sambil mencubit pelan hidung
mancungku yang kudapat dari dirinya. Aku hanya memanyunkan bibir, aku yakin itu
sudah cukup untuk menjadi jawaban atas
pernyataan ayah.
Ya,
ini bukan yang pertama kalinya, jika
sudah begini ayah akan masuk ke kamarku lalu mendekat dan mengusap kepalaku.
“Ayah janji ayah akan pulang”kalimat yang familiar untuk kudengar. Kalimat yang
simpel tapi entah mengapa aku sudah cukup muak untuk mendengarnya dan aku tahu
ini pertanda bahwa aku harus mulai belajar untuk hidup berdua bersama bunda,
tanpa ayah hingga berbulan-bulan lamanya.
Aku
tidak pernah peduli dimana ayah ditugaskan. Karena aku membenci pekerjaan ayah,
pekerjan itu merenggut waktuku untuk bersama ayah. Kata bunda ayah pergi untuk
melindungi negara, mempertahankan keutuhan NKRI. Apapun itu aku tidak peduli,
kala itu yang kuingin Ayah selalu ada dihidup kami, walaupun akhirnya aku
sadar, itu semua hanya mimpi.
Bunda
yang mengantarkan aku ke taman kanak-kanak, menjemputku les musik,
mengajarkanku melukis hingga bunda yang mengambil nilai semesterku. Bunda
melakukan semua itu sendirian, melakukannya demi aku. Tapi aku salah,
seharusnya kala itu aku sadar. Ayah pergi jauh berbulan-bulan meninggalkan
keluarganya, orang-orang yang dicintainya, bahkan ayah selalu mendapat wajah
masamku setiap menjelang keberangkatannya, semua itu dilakukannya semata-mata
hanya untuk aku, bunda dan tanah airnya INDONESIA.
Hingga
pada kala itu, Desember 2014. Tersiar kabar terjadinya Gempa dan tsunami di
Aceh. Begitu jelas kulihat kecemasan diwajah bunda. Yang aku tahu kala itu ayah
sedang ditugaskan untuk menumpas rombongan GAM di Aceh. Bunda berkali-kali menelpon
ayah, namun entah karena apa sehingga tak satu pun telpon bunda tersambung pada
ayah. Wajah bunda memucat, kakinya gentar, hingga akhirnya tubuh bunda jatuh
terjerembab ke lantai.
“Ayah
pasti selamat, Allah selalu bersama ayah. Doakan ayah selalu ya Rara.. semoga
kita masih bisa berkumpul sama ayah.” Masih kuingat jelas kata-kata bunda pada
malam itu. Aku hanya mengangguk mengiyakan doa bunda. Memeluknya erat, berharap
pelukanku dapat meredakan sedikit kecemasan bunda pada ayah. Kurasakan tubuh
bunda bergetar, aku tahu bunda pasti menahan tangisnya. Aku tahu bunda tak
ingin tangisnya pecah dihadapanku.
Pada
malam itu aku sama sekali tak dapat memejamkan keduamataku, fikiranku masih terfokus
pada ayah. “Kirim doa serta al-fatihah untuk ayah. Do’akan ayah selamat”, aku
teringat akan bunda, kutoleh ranjang di sebelahku. Dan benar, malam ini aku
kehilangan bunda lagi.
Aku
beranjak menuju ruangan dengan satu-satunya lampu yang masih menyala dirumahku.
Aku tahu bunda disana, melihat bunda menangis disepertiga malam, menangis karna
rindunya kepada ayah. Hampir setiap malam aku melihatnya. Tapi malam ini
berbeda, tangis bunda berbeda, aku dapat merasakan untaian doa-doa yang bunda
lafadzkan pada tiap-tiap sela isakannya. Do’a untuk ayah, hanya untuk ayah. Aku
pun beranjak meninggalkan bunda, aku tak ingin bunda tahu putri satu-satunya ikut larut dalam bersedih,
aku tetap ingin menjadi penyemangat untuk bunda.
Hingga
2 minggu berlalu alhamdulillah akhirnya kami mendapat kabar tentang ayah. Paman
Sam yang memberitahu kabar itu, kami bersyukur sekaligus bahagia mendengarnya.
Alhamdulillah ayah baik disana, bahkan beliau sedang ditugaskan untuk membantu
warga aceh membereskan puing-puing bangunan, memberikan tempat evakuasi serta
memberi bantuan kemanusiaan lainnya.
Entah
mengapa tiba-tiba rasa sejuk menyusup dalam hati ketika mengetahui kabar
tentang ayah, betapa hebat dan mulianya ayah. Membantu dengan ikhlas tanpa
mengharap balasan sedikitpun, menjalankan Amanah nya Sebagai Tentara Nasional Indonesia.
Saat
ayah pulang dan tiba didesa, kami menyambutnya dengan hangat. Aku tak dapat
menahan rasa haruku saat melihat ayah, air mataku pecah dan kubiarkan ia
mengalir begitu saja. Kali ini aku benar-benar bahagia, bahagia melihat
pahlawan kami telah pulang. Kucium tangan kanannya sebagai rasa hormatku
padanya, tak terbayangkan berapa banyak pengorbanan yang tangan ayah lakukan
untuk negara.
Ayah
mengusap kepalaku sambil tersenyum, persis seperti yang ia lakukan padaku
ketika aku kecil dahulu. Ingin rasanya meminta ayah untuk memeluk dan
menggendongku seperti dulu lagi. Tetapi aku sadar aku bukanlah putri kecilnya
yang dulu. Kini aku sudah tumbuh menginjak dewasa. Teringat aku akan beban
yang selama ini telah ayah pikul. sudah cukup ayah memikul beban negara, tak
perlulah aku menambah-nambah bebannya lagi.
Setelah
tugas ayah di Aceh selesai, ayah pun banyak beristirahat di rumah. Kala itu
ayah mengajakku ke makam kakek dikala bunda sedang jatuh sakit. Sehingga ia
tidak ikut serta dengan kami.
Kakek ku
dimakamkan di makam pahlawan di daerah Bandung. Beliau adalah seorang pejuang.
Beliau gugur dalam operasi seroja yang terjadi pada 7 Desember 1975 – 17 Juli
1976 di Timor Timur, walaupun kala itu kemenangan tidak berpihak kepada Indonesia
tetapi setidaknya kakek ikut memperjuangkannya.
“Kakekmu
adalah sosok pejuang yang hebat, ayah bisa seperti ini karena beliau. Semangat
juangnya boleh ditiru,” kata ayah sambil tersenyum, melihat ke makam kakek
seperti menerawang jauh mengingat ke masa lalunya. Aku yang tak tahu apa-apa
hanya diam dan membayangkan sosok kakek yang hebat. “Rara…” kata ayah sambil
menyentuh pundakku. “Kalau ayah pergi, jaga bundamu baik-baik ya,” ayah
tersenyum lalu menundukkan kepala membacakan doa untuk kakek. Aku masih belum
mengerti dengan ucapan ayah waktu itu, yang pasti aku telah berjanji pada
diriku “akan selalu aku jaga bunda untuk ayah.”
Kautahu,
aku merasakan penyesalan berkecamuk di hatiku. Menyesal karena pernah memberikan
wajah masam pada ayah, walaupun aku yakin hal itu tidaklah menjadi masalah yang
besar untuknya. Ayah tentu memiliki masalah yang lebih rumit dari ini. Tentu
saja, ayah harus menjaga keutuhan negara, menghalau pemberontak yang ingin
menghancurkan Indonesia, lalu masuk ke daerah pedalaman serta perbatasan hanya
untuk memastikan tidak ada penyusup yang ingin mengganggu Bumi Pertiwi yang ia
pijak. Bagaimana aku tidak akan kagum dengan jiwa prajurit ayah.
Hingga
akhirnya kabar duka itu datang kepada kami, saat aku masih mengenyam pendidikan
di bangku SMP. Saat itu ayah memasuki usia 45 tahun, tepat 4 tahun sebelum masa
pensiun ayah. Ayah gugur karna tertembak oleh kelompok separatis bersenjata
saat sedang ditugaskan di Puncak, Papua. Ayah sungguh telah berada di ujung
takdir hidupnya, benar-benar meninggalkan kami bukan lagi hanya untuk
berbulan-bulan lamanya, tak akan ada lagi telpon atau kiriman telegram dari
ayah, dan kami tidak akan pernah lagi menunggu mobil dari kota yang akan
mengantar ayah, ayah tak akan lagi pulang ke desa. Ayah telah benar-benar
kembali kepada sang Khaliq.
Sepeninggalan
ayah, aku masih memegang janjiku pada ayah saat kami berada di makam kakek. Aku
akan menjaga bunda, menjaganya untuk ayah. Aku bersyukur dilahirkan dari rahim
bunda, sosok wanita luar biasa yang
memberi inspirasi pada tiap-tiap langkahku.
Aku
sedikit sedih karena aku belum sempat mengutarakan niat muliaku pada ayah. Ya,
aku ingin melanjutkan perjuangan kakek dan
ayah untuk Indonesia. Aku ingin memupuk rasa cintaku pada bangsa, walaupun aku
tahu.tak perlu aku harus masuk dalam medan perang untuk membuktikan rasa
cintaku ini. Tapi jiwa pejuang ini telah tumbuh dalam diriku, dibawa oleh kakek
hingga ke ayah lalu mengalir begitu saja pada darahku. Ya, aku ingin menjadi
seorang kowad.
Apakah
kautahu, dahulu tak ada setitik pun keinginanku untuk menjadi seorang kowad.
Tapi seiring berjalannya waktu, rasa cinta itu mengalir dalam darahku. Melihat
ayah yang berjuang mati-matian untuk bangsa hingga harus mempertaruhkan nyawanya.
Atau kakek yang akhirnya kehilangan nyawanya hanya untuk memperebutkan Timor Timur.
Menjadi
kowad atau Korps Wanita Angkatan Darat. Hingga nanti ‘kan berjuang demi menjadi
Angkatan Darat Republik Indonesia. Bukankah itu akan menjadi sesuatu yang
berharga untukku?
Membayangkan
ayah akan tersenyum bangga melihat putri satu-satunya menjati Melati Pagar Bangsa. Menjadi seseorang yang
menjunjung kodrat kewanitaannya serta memiliki sifat tanggung jawab dan penuh
pengabdian kepada bangsa dan negara Indonesia.
Keputusanku
sudah bulat, aku memilih jalan ini untuk hidupku, menyusul perjuangan ayah dan
kakek. Namun aku belum mengutarakan niatku ini pada bunda. Bagaimanapun juga
aku masih memiliki janji kepada ayah untuk menjaga bunda.
Siang
ini kulihat bunda duduk di kursi goyang milik ayah. Kulihat wajahnya mulai
keriput, menunjukkan sisa-sisa perjuangannya saat bunda masih muda. Tetapi
tetap saja kecantikan bunda masih dapat kulihat dari wajah tuanya. Pantas ayah
sangat mencintai bunda, tentara muda yang mencintai seorang gadis biasa seperti
bunda. Ya, gadis biasa tetapi memiliki hati emas seperti beliau, aku pastikan
ayah tidak menyesal memilih bunda untuk menjadi pendamping hidupnya.
“Bunda..?”
sapaku pada bunda yang sedang menatap langit biru, seperti menerawang jauh pada
masa lalunya, mungkin bunda sedang mengenang ayah. Ya, ini adalah tahun ketiga
setelah kepergian ayah, dan berarti ini adalah tahun ketiga kami hanya hidup
berdua, tanpa ayah.
Bunda
masih termenung, belum menjawab sapaanku. Akupun terkejap, merasa sedikit
berdosa karena telah mengganggu bunda. Mungkin bunda benar-benar sedang
mengenang ayah, mengenang sosok pahlawan hidupnya. Hingga aku menyentuh lengan
beliau dan bunda pun melirik kearahku,
“Ya,
Ra? Ada apa, Nak?” Jawab bunda sambil membenarkan kacamatanya. “Rara ingin
menjadi kowad bun, melanjutkan perjuangan kakek dan ayah untuk Indonesia.
Bagaimana menurut bunda?” Kali ini bunda tersenyum sumringah terhadapku, beliau
memeluk erat tubuhku “Kenapa tidak nak? Bunda bahagia mendengarnya, harumkanlah
nama negeri ini seperti apa yang kakek dan ayahmu lakukan.” Betapa senang
ketika mendengar respon bunda, mendapat restu dan do’a dari beliau. Kini
tekadku benar-benar sudah bulat.
Mungkin
tak banyak yang dapat aku lakukan untuk negeri ini, aku tak bisa mengusir para
penjajah seperti apa yang telah dilakukan para pejuang hebat bangsa Indonesia.
Aku tak bisa seperti Ir. Sukarno yang dapat membakar semangat para pemuda
Indonesia atau aku bahkan tak bisa menciptakan sesuatu yang dapat mengangkat
derajat negeri ini, tetapi ada yang aku lupakan. Setidaknya “Aku adalah wanita, bukanlah mawar penghias taman tetapi melati pagar bangsa.”
*Publish on 2015, Sayembara Penulisan Cerpen Kantor Bahasa Provinsi Jambi
*Publish on 2015, Sayembara Penulisan Cerpen Kantor Bahasa Provinsi Jambi
Comments
Post a Comment