Cerpen bertemakan Kebangsaan. Namaku Mahardika

NAMAKU MAHARDHIKA


                Namaku Mahardhika, aku dilahirkan di tengah-tengah rentetan sejarah. Ibuku adalah seorang wanita tangguh, dan dia adalah wanita tercantik dalam hidupku. Ayahku adalah seorang prajurit, dia adalah lelaki yang tergagah di keluargaku, tubuhnya yang tegap dan kekar menggambarkan kalau dirinya adalah seorang prajurit yang gagah berani.
            Karena aku dilahirkan dalam rentetan sejarah, banyak sekali kisah yang mengiringi kelahiranku. Aku dilahirkan pada malam berkabut, di tengah-tengah cahaya purnama, di dalam sebuah rumah papan kecil yang dikelililingi bunga melati. Saat itu, ayahku tidak ada di rumah. Dia pergi melaksanakan tugasnya sebagai seorang prajurit yang gagah berani. Hanya ada ibu dan dukun kampung yang membantu kelahiranku. Karena saat itu ayahku tidak ada di rumah, jadi ibu yang menamaiku. “Mahardhika”, begitu nama yang diberikan ibu padaku. Menurut ceritanya, nama itu berarti kebebasan.
            Malam itu, aku terus menangis dalam pelukan ibu. Suara lolongan serigala, suara derik jangkrik, dan suara sahut-menyahut katak, bersaing dengan suara tangisku. Aku terus menangis dalam pelukan ibu.
            Keesokan paginya, ayah pulang bersimbah darah. Lengan dan kaki kirinya hancur terkena ranjau. Tanpa sepengetahuan ibu, ayah masuk ke dalam rumah dan duduk beristirahat di ruang belakang. Ketika ibu melihat ayah dengan darah yang terus menetes, ibu terperanjat. Ibu hampir pingsan. Namun, ketika ayah menyapanya dengan sapaan khasnya, ibu langsung tahu kalau itu memang benar-benar ayah. Ibu menggendongku mendekati ayah yang sudah pucat kehabisan darah, ayah mencium keningku dan mengajakku bermain. Sesaat ayah melupakan dirinya yang sedang terluka parah. Ibu memberikan minum dan membantu membersihkan luka-luka yang ayah derita. Ayah berbaring melihatku dalam gendongan ibu. Namun tak lama, luka ayah semakin parah. Ayah tertawa menghibur ibu yang menangis sambil memelukku melihat ayah yang sudah tak mampu bergerak lagi, ayah berusaha membuat ibuku tertawa dan tersenyum lagi. Kata ibu, ayah saat itu mengatakan kalau ibu adalah wanita tercantik dalam hidupnya, dan aku adalah prajurit paling tangguh dalam sejarah. Ayah kemudian memberiku nama, Samudra. Jadilah namaku “Mahardhika Samudra”.
            Sehari setelah ayahku di rumah, untuk pertama kalinya aku tak berhenti menangis. Ibu bingung bagaimana lagi harus menenangkanku. Entah kenapa, saat itu kata ibu, aku selalu menangis jika melihat ayah.
            Beberapa saat kemudian, untuk terakhir kalinya ayah menatap ibu, untuk terakhir kalinya ayah mendengar tangisanku. Ayahku memejamkan mata untuk selamanya, ayahku yang gagah, ayahku yang baik hati, ayahku yang berani, kini sudah tiada lagi.
            Ibu terisak memeluk ayah, meminta maaf, dan mencoba bersabar. Itulah ibuku, seorang wanita tertangguh dalam hidupku.
            Sejak kepergian ayah, ibu merawat dan memeliharaku seorang diri. Aku pun tumbuh besar. Aku tumbuh menjadi anak yang cerdas, kuat, dan berani. Semuanya ku hadapi.
            Saat itu, umurku baru enam tahun. Saat ibu sedang sibuk memasak di dapur, aku berlari-lari di sekitar rumah, memanjat pohon jambu di belakang rumah, dan mengejar ayam-ayam peliharaanku. Tiba-tiba, entah kenapa seluruh tubuhku lemas, pandanganku kabur, aku pun tersungkur jatuh. Ibu tidak menyadari keadaanku. Tak lama, saat ibu memanggilku untuk segera makan siang, ibu memanggilku berulang-ulang namun ibu masih juga belum mendengar sahutanku. Saat ibu keluar, ibu terkejut melihatku. Ibu segera melupakan pekerjaannya dan mengejar tubuh mungilku. Ibu menggendongku masuk dan menangis, ibu takut akan kembali kehilangan orang yang paling dicintainya. Ibu membaringkanku, membersihkan debu-debu yang menempel di tubuhku, dan mencoba membangunkanku. Ibu pun akhirnya tenang melihatku membuka mata. Ibu memelukku, dan mengambilkan minuman untukku. Sejak saat itulah, ibu melarangku untuk bermain terlalu lama.
            Saat umurku sembilan tahun, aku belajar mengenali tempat tinggalku, belajar mengenali alam sekitarku, dan belajar mencintai lingkunganku.
            Kata ibu, “Tempat tinggalmu adalah rumah paling berharga bagi dirimu…”, ibu selalu menasehatiku. Menjawab pertanyaan-pertanyaan mau tahuku dan bersabar dengan kenakalanku. Ibu menjawab dengan tenang dan tawanya yang lucu.
            Kejadian yang tak akan pernah kulupakan adalah saat ku berusia dua belas tahun. Saat itu, aku sedang bermain di parit samping rumahku, tiba-tiba aku terkejut mendengar suara seperti piring jatuh di dalam rumah. “IBU!!” aku segera berlari masuk ke dalam rumah mengejar ibuku. Ibuku terjatuh, aku segera mendekati ibu dan mengangkat tubuhnya. Namun, dengan tubuhku yang kecil aku tak mampu mengangkat ibu. Aku menangis, aku berlari keluar rumah berteriak meminta pertolongan. Percuma, jarak rumahku dengan rumah tetanggaku saat itu teramat jauh. Aku kembali mendekati ibu, kucoba membangunkan ibu. Aku menangis, memeluk ibu yang terjatuh di lantai rumah. “Ibu... Ibu... kumohon bangunlah, Bu...” aku memeluk ibu kuat sekali, aku takut ibu akan meninggalkanku seorang diri, segala perasaan takut membuat seluruh tubuhku menggigil kedinginan. Aku bersihkan pecahan beling di sekitar ibu, wajah ibu kubersihkan dari debu, “Bu... bangun... Sudah malam, Bu... Dhika lapar, Bu...” isakku saat itu. Ibuku tak kunjung bangun, ibu masih terus tertidur. Saat itu, malam hari menyelimuti rumahku. Aku menyiapkan makanan untuk ibu, aku masih terus berusaha membangunkan ibu. Sampai akhirnya, ibu yang paling kusayangi, ibuku yang paling ayahku kagumi, ibu yang selalu merawatku sampai saat ini, ibuku yang tangguh, menjemput ayahku yang berani. Ibuku, pergi meninggalkanku untuk selamanya.
            Pagi itu, saat usiaku baru dua belas tahun, para tetangga yang tinggal jauh di ujung mata mengetahui keadaan ibuku yang sudah pergi meninggalkan diriku seorang diri. Beramai-ramai mereka merawat jasad ibuku, memandikannya, mengafani, menyalati, dan memakamkannya. Aku turut memandikan ibu, turut membantu mengafani jasad ibu, aku ikut menyalati ibuku yang cantik, hingga akhirnya untuk terakhir kalinya aku melihat wajah ibu. Ibuku yang cantik, meninggalkanku seorang diri.
            Bertahun-tahun aku tinggal seorang diri, biasanya para tetangga selalu datang melihatku, melihat keadaanku, kadang juga memberi makanan untuk mengganjal perut laparku. Aku tumbuh menjadi pemuda yang gagah seperti ayahku, pemuda yang berani dan teguh seperti ibuku, pemuda yang tahan banting menghadapi hidup.
            Saat usiaku tujuh belas tahun, aku berniat pergi merantau mencari penghidupan. Aku berniat akan melanjutkan perjuangan ayahku, aku berniat membanggakan ibuku, aku berjanji pada mereka.
            Pagi itu, seusai salat subuh, aku pergi ke makam ibu dan ayahku, meminta doa restu agar aku selalu selamat dan selalu ingat siapa penciptaku. “Ayah, engkau mewarisi keberanian pada diriku, engkau memberikan kewibawaan padaku, engkau memberiku cerita bahwa engkau adalah seorang prajurit tangguh. Ayah, aku akan melanjutkan perjuanganmu.” aku berkata sambil berlutut di pusara ayahku.
            Di pusara ibu, aku mengatakan, “Bu, aku akan menjadi anak yang berbakti, aku akan pergi menaklukan dunia, mengenali alam dan lingkunganku, mengenali tempatku tinggal seperti kata ibu dulu. Ibu, ibu yang sedari dulu merawatku seorang diri, ibu adalah wanita tercantik dalam hidupku. Ibu adalah wanita yang paling aku sayangi. Izinkan aku, Bu, aku akan pergi mencari arti kehidupan.” aku tersenyum dengan mata yang berkaca-kaca. Kutahan agar air mataku tak jatuh ke tanah.
            Pagi itu, saat burung-burung bernyanyi bersama angin, aku memeluk pusara ibu dan ayahku. Aku pergi, ke dunia luas.
            Bertahun-tahun aku pergi, aku menjadi seorang prajurit seperti janjiku pada ayah waktu dulu. Saat itu, aku berusia sembilan belas tahun. Dengan tubuh tegap, aku berjalan memanggul senjata. Berlatih bertempur bersama rekan-rekanku, berlari, memanjat, berenang, hanya terbang yang tak mampu ku lakukan.
            “Namaku Mahardhika Samudra” seruku saat pimpinanku bertanya siapa namaku. Aku teramat bangga dengan baju kebesaranku saat ini. Aku memanggul senjata, membawa ransel besar, melewati hutan, dan menaklukkan belantara. “Aku sudah melaksanakan perintahmu, Bu. Aku sudah mengenali alamku,” bisikku dalam hati.
            Saat usiaku dua puluh tahun, aku berniat ingin mengunjungi makam kedua orang tuaku. Sudah lama aku tak ke sana. Tak melihat makam mereka, entah bagaimana sekarang, entah terawat atau tidak.
            Niatku akhirnya kesampaian, makam mereka masih sama, hanya sekarang ditumbuhi rumput-rumput tinggi. Aku segera membersihkan makam ibu dan ayahku. Aku menceritakan pada ayah dan ibu kalau aku sekarang sudah menjadi seorang prajurit. Prajurit yang lebih gagah dan lebih berani daripada ayah. Celetukku sambil tertawa mencoba berbicara dengan ayah. “Ayah, sekarang aku adalah seorang prajurit. Lihatlah, aku lebih gagah dan berani. Ha..ha..ha..” tawaku sedikit terisak, aku merindukan ibu dan ayahku. “Ibu, lihatlah aku. Anakmu yang dulu nakal, yang tak mau diatur, yang selalu bertanya. Bu.., lihatlah, aku sekarang sudah melihat alam seperti yang selalu ibu katakan. Ibu.. aku merindukanmu.” isakku saat itu.
            Aku pergi ke rumah kelahiranku, saat itu rumahku sudah hampir roboh dimakan zaman. Tak terasa air mata menetes membasahi pipiku. Kenanganku waktu kecil di rumah itu seakan-akan terputar kembali. Saat aku mengejar anak-anak ayam, saat aku memanjat pohon jambu, saat aku bermain di parit, aku sedikit tertawa mengingat semua itu. Namun, itu hanya kenangan. Aku menangis, merindukan masa kecilku.
            Aku kembali ke tempatku tinggal saat ini, markas prajurit. Besok, adalah hari pertempuran kami dengan tentara sekutu yang berusaha mengusai tanah airku, Indonesia. Aku akan menghadapi perang yang sebenarnya. Kami diperintahkan untuk segera bersiap dan waspada terhadap serangan-serangan yang bisa membahayakan kami.
            Malam itu, aku bersujud kepada penciptaku, berdoa supaya aku selalu diberi keselamatan dan mampu melaksanakan tugasku dengan baik. Tak lupa, aku mengirimkan doa untuk ibu dan ayahku, semoga mereka selalu bersamaku, semoga mereka diberi tempat yang indah di alam sana.
           
            Suara sirine membangunkan kami, saat itu pukul empat subuh. Membuat kami harus segera bersiap-siap. Sirine itu pertanda bahwa musuh akan segera mendekat. Kami segera berkumpul di lapangan luas depan markas prajurit. Kami berdoa menurut keyakinan yang kami miliki. Kami berdoa, semoga kami tidak akan kalah, semoga kami gugur sebagai pahlawan bangsa, semoga kami pulang membawa kemenangan bagi bangsa.
            “SERBU!!! Allahu Akbar!!!” teriak salah satu prajurit membuat semangat dua ratus orang prajurit terbakar. “Kita memang kalah jumlah!! Tapi yakinlah, Tuhan yang menciptakan kita selalu bersama kita! Yakinlah, kita selalu bersama-Nya! Demi bangsa! Demi Negeri! Demi Negara! Demi keyakinan kita!! Allahu Akbar!! SERBU!!!!!” teriak prajurit-prajurit itu tanpa gentar sedikitpun menghadapi musuh yang sudah di depan mata.
            Peperangan pun berkecamuk, banyak tentara sekutu dan prajurit-prajurit muda yang terluka dan menjadi korban peperangan. Panji-panji berkibar dan genderang perang terus-menerus berbunyi. “Demi Negara!!!” teriak prajurit muda menghujamkan tombaknya ke jantung tentara sekutu.
            Suara mesiu, bom, mortar, meriam pun saling bercampur-baur beradu suara. DORR!!!! DARRR!!! GLARR!!! DIARRRR!!! suara meriam menghantam benteng pertahanan kami. “Ya Allah, bantulah kami, kirimkanlah tentara-tentaramu yang kuat, izinkanlah kami mendapatkan kemerdekaan kami. Ya Allah, ALLAHU AKBAR! Allahu Akbar!” doaku.
            “Ingatlah teman-teman! Kita adalah bangsa yang mempunyai keyakinan! Kita mempunyai Tuhan! Dialah penolong kita sekarang!! Allahu akbar! Allahu akbar!!” teriak temanku.
            Aku dan teman-temanku berjuang sekuat tenaga mengalahkan tentara-tentara itu. Tak kusangka, sebuah peluru panas menembus lambungku. Tubuhku terkulai lemas, mataku pun berkunang-kunang, remang, dan entah kenapa aku pun tersungkur jatuh. Aku teringat masa kecilku, saat aku tersungkur jatuh kala itu, ibulah yang menggendongku masuk ke rumah. Membersihkan debu-debu yang melekat ditubuhku, memberiku minum saat pulih kesadaranku. Namun sekarang, siapa yang akan melakukan itu untukku.
            Aku masih terbaring menatap tanah, mencoba bangun, namun tak mampu lagi aku menahan beban tubuhku. “Ibu, Ayah, aku sangat merindukan kalian.” tangisku pecah melupakan kesakitanku saat itu. “Aku ingin bertemu dengan kalian saat ini,” aku menggenggam lukaku, menangis, membuat basah tanah. “Ayah, andaikan aku wafat, aku ingin menjadi seorang pahlawan seperti ayah. Ayah, aku ingin mempunyai keberanian sepertimu. Pulang seorang diri dengan tangan dan kaki yang hancur. Ayah, aku ingin sepertimu.” Aku menangis mengingatnya, mengingat ibu yang selalu memasak makanan untukku, mengingat cerita ibu tentang ayah yang bermain denganku.
            “Ibu, aku melihatmu.” tiba-tiba kata itu terucap dari mulutku. “Ibu, aku akan menemuimu.” aku tersenyum dalam tangisanku.

Tangisanku lama-kelamaan hilang suara. “Ibu, aku melihatmu...” aku terisak, “Ya Allah, jemputlah aku. Aku sudah melaksanakan tugasku. Ya Allah, bebaskanlah negaraku ini. Jadikanlah negara ini negara yang besar, negara yang berani, negara yang kuat, negara yang beragama. Ya Allah, jadikanlah negara ini negara yang selalu bersujud kepadamu.” kesadaranku entah ke mana. Aku terisak, aku berbisik pada bumi, “Ayah, ibu, ini aku, anakmu, Mahardhika Samudra.”


                    *Publish on 2015, Finalis Sayembara Penulisan Cerpen Kantor Bahasa Provinsi Jambi.

Comments

Popular posts from this blog

Cerpen bertemakan Kebangsaan. Sekuntum Melati Untuk Bangsa

Berkunjung ke Tribun Jambi

Cerpen bertemakan Kebangsaan. Kakekku Sang Veteran